Saturday, November 1, 2014

CERPEN CINTA ISLAMI:SURAT CINTA BIRU

                                  CERPEN CINTA ISLAMI:SURAT CINTA BIRU

“Huuuft, telat deh ni. Telatt…!!”
Aqilah menggerutu saat hendak memasuki gerbang sekolah. Dua menit lagi bel masuk akan segera berbunyi. Aqilah segera memarkir motornya dan berlari menuju kelasnya di lantai dua yang cukup jauh dari parkiran.
“Huufth, hmmh. Capek gila’..” dengan segera duduk di bangkunya dan bergabung dengan teman-temannya.
“Ehm, tumben nih telat.” Sapa Vhita.
“Hmm, gimana gak telat. Tuh bocah satu di rumah lama mandi, harus aku pula yang antar.” Jawab Aqilah masih ngos-ngosan.
“Pengumunan! Kelas XI-B nanti sore olahraga pukul 16.00. Ingat, harus on time yeah..” sang ketua kelas membuka pagi itu dengan pengumuman.
Pelajaran pertama berlangsung lancar hingga bel istirahat berbunyi. Waktu istirahat ini, Aqilah segera menuju mushala sekolah untuk menunaikan shalat Dhuha. Sehabis shalat, Aqilah memilih duduk di bawah pohon mangga samping mushala sambil membaca buku inspirasi hadiah dari kak Migi sebelum pulang ke Bali waktu itu.
Buku itu baru saja Ia terima dari Azkha, sepupunya kak Migi. Tiba-tiba Aqilah menemukan secarik kertas berwarna biru di tengah-tengah lembaran buku tersebut. “My Love is not Ordinari Love”, hanya itu kata-kata yang ditulis dengan sangat rapi itu. Entah milik siapa dan untuk siapa. Aqilah merasa heran, tapi Aqilah tak mau ambil pusing. Ia masih mengangggap itu bukan untuknya.
Sepulang sekolah. “Qilah, aku nebeng pulang sama kamu ya, soalnya mbak Anis gak bisa jemput nih. Boleh ya?” rengek Nia sambil memasang muka memelasnya.
“Iya, ya. Boleh deh. Gak usah nangis kayak gitu kalee. Hahaha.” Aqilah tertawa lepas melihat tampang temannya itu.
“Tunggu di gerbang aja ya, aku mau ngambil motor di parkiran dulu.” Aqilah segera menuju parkiran setengah berlari. Sedangkan Nia segera mangangguk sambil terus berjalan menuju gerbang untuk menunggu Aqilah.
“Apaan lagi nih!” Gumam Aqilah sambil mengambil sebuah amplop berwarna biru muda yang baru saja jatuh dari dalam helm-nya. Saat membuka amplop tersebut, Aqilah melihat Nia yang sedang kepanasan di gerbang. Akhirnya Aqilah menunda untuk membaca isinya, karena kasihan melihat temannya.
Setibanya di rumah, Aqilah segera menuju kamar. Tanpa mampir di meja makan untuk melihat menu hari ini seperti kebiasaannya. Tanpa mengganti seragam terlebih dahulu, Aqilah segera mengambil surat tadi di dalam saku seragam putih-putihnya itu.
Selebihnya aku bukanlah siapa-siapa tanpa Rabb-ku. Dan aku tak ‘kan memiliki cinta tanpa diberi predikat “sempurna” oleh Allah sebagai manusia. Begitulah kata pembuka dari surat berwarna biru itu. Aqilah berfikir sejenak, masih penasaran tentang siapa kiranya pengirim misterius itu??
“Bunda, Qilah berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum..” setelah mmencium pipi Bundanya Aqilah segera menuju motor dan tancap gas menuju Sekolah. Kali ini Ia bebas dari tugas mengantar adiknya. Karena Ia harus berangkat lebih awal untuk mengerjakan tugas komisarisnya di kelas.
Pagi itu, jarum jam di tembok aula sekolah baru menunjukkan pukul 06.15. Sekolah masih sepi. Anak-anak kelas X yang terlihat lebih awal datang sekolah. Sedangkan kelas XI dan XII baru hanya beberapa orang.
“Selamat pagii Aqilah, kok buru-buru sih?” Sapa sosok cowok dengan paras nilai 8,7 itu.
“Hey kha, waduh iya nih. Aku harus ke kelas, soalnya jadwalku komisaris hari ini. Duluan ya Azkha.” Aqilah berlari menuju kelas meninggalkan Azkha yang sejak tadi sibuk membaca beberapa tulisan di mading sekolah.
Tanpa melepas tas terlebih dahulu, Aqilah segera mengambil sapu untuk membersihkan lantai kelas. Sedangkan tugas yang lain Ia serahkan kepada ketiga temannya yang jadwal komisaris hari itu.
Setelah pekerjaannya selesai, Aqilah menuju bangkunya untuk meletakkan tas. Lagi dan lagi Ia menemukan surat biru, dan kali ini Ia menemukannya di atas kursi. Aqilah segera membuka surat tersebut berharap kali ini bisa tau siapa pengirimnya.
Sesibuk apapun kamu wahai sang perii_biru, tolong sempatkan waktumu untuk memikirkan bagaimana perasaan seorang hamba Allah ini. 17 tahun selama aku hidup, rasanya terlalu singkat jika dibandingkan selama beberapa bulan ini aku…
“Hei, apaan tuh. Cie,cie. Surat cinta nih yee..!” Vhita berteriak dari pintu kelas melihat Aqilah yang sedang sibuk membaca. Segera surat tersebut Ia simpan dan berlari menuju mushola sekolah tanpa memikirkan Vhita yang ternyata penasaran dengan surat Aqilah.
Aqilah termenung sendiri di teras mushola setelah bebas dari ejekan Vhita. Ia memikirkan tentang surat yang Ia baca tadi. Lagi-lagi bertanya siapa pengirimnya?
“Huuh, dasar gak punya nyali banget sih tuh orang yang punya surat. Lagian, ini zaman kan sudah modern, ngapain juga pake surat-suratan segala. Kayak zamannya Pak Habibie dan Bu’ Ainun aja.” Gumam Aqilah sambil memperbaiki letak jilbab putihnya.
Selama menerima pelajaran hari itu, Aqilah tidak bisa fokus sepenuhnya. Surat cinta biru yang akhir-akhir ini menerornya mengganggu konsentrasi belajarnya. Tapi kali ini Aqilah benar-benar yakin bahwa surat itu memang untuknya. Tapi, apa maksudnya si pengirim misterius mengirimkan Aqilah surat dengan kata-kata puitis seperti itu?
“Dedek, temenin acha’ fotocopy yuk. Sekalian jalan-jalan.” Aqilah mengambil kunci Honda Beatnya di kamar dan mengajak Arini keluar untuk fotocopy.
“Asiiik, tapi Arini izin sama Bunda dulu ya Cha’ sekalian minta uang buat beli lollypop.” Arini yang memang hobbinya jalan-jalan itu segera berlari menemui Bunda yang sedang asik nonton acara pengajian di Tv.
Sambil menikmati angin sore Aqilah mengendarai motornya dengan santai diiringi oleh nyanyian Arini yang suaranya merdu banget (tapi bo’ong, hehe). Tak lama kemudian mereka telah sampai di tempat Fotocopy. Sambil menunggu antrian, Aqilah menemani Arini membeli lollypop di sebelah kanan tempat fotocopy yang memang tempatnya sama.
Aqilah juga melihat seseorang sedang memilih kertas surat di barisan tempat menjual alat tulis.
“Hey, Azkha. Sedang apa kamu disini?” Sapa Aqilah kepada penghuni tetangga kelasnya itu.
“Eh, emm.. Aqilah. Oh, ini aku lagi nyari kertas buat nulis Artikel yang akan ditempel di mading sekolah.” Azkha kelihatan sangat gugup menjawab pertanyaan Aqilah. Tak lama setelah itu, Azkha bergegas menuju kasir sambil membawa kertas surat berwarna hijau.
Aneh banget sih. Masa’ nulis Artikel pake kertas surat. Ditempel di mading lagi. Lebih bagus kan diketik terus di print pake kertas A4. Tapi, ah mungkin ditulis manual biar lebih seni aja kali ya. Aqilah sibuk bergumam sambil melihat gerak-gerik Azkha yang sedikit aneh saat dipergoki Aqilah.
“Cha’, tuh gilirannya fotocopy!” Arini menyudahi guyonan fikiran Aqilah.
“Shasha, kamu dipanggil bu Titik tuh di ruang guru.” Azkha menghampiri Shasa dan Aqilah yang sedang asik membaca majalah Ar-Risalah di depan kelas.
“Ok deh. Aku kesana. Tunggu bentar ya Qilah.” Shasa segera berlalu.
“Hay Aqilah. Oh ya, ada surat untuk kamu juga. Sebelumnya maafkan aku ya. Aku pergi dulu.” Azkha menyerahkan amplop biru kepada Aqilah dengan mimik wajah yang aneh.
“Makasih, tapi minta maaf buat apa Kha?” Azkha segera berlalu tanpa menghiraukan Aqilah yang keheranan.
Aqilah pun membuka surat tersebut. Tapi kali ini ada yang berbeda, kertas surat itu berwarna hijau. ”Kayaknya aku pernah lihat kertas surat ini” gumam Aqilah.
Sebelumnya, maafkan aku atas perasaan yang tidak semestinya hadir pada waktu yang tidak tepat ini. Rasa ini telah lama ku simpan dan InsyaAllah akan selalu ku pertahankan. Aku tidak berharap kau membalasnya sekarang. Tapi aku hanya tak sanggup memendamnya terlalu lama.
“Duh rese’..” mendengar suara Shasa, Aqilah segera menyimpan surat tersebut.
“Kamu kenapa Qilah, kok mukanya sedih gitu?” Sapa Shasa melihat bola mata Aqilah berkaca-kaca. Tapi, Aqilah segera berlari menuju mushola tanpa memperdulikan Shasa yang penasaran.
Setelah berwudhu, Aqilah mengenakan mukena dan segera menengadah kepada sang Khalik sambil meneteskan air mata. Setelah dzikir Ia bergumam, “Ya Allah, hanya kepada-Mu kuutarakan segala rasa. Risalah hati menuai benih-benih cinta yang tak sepantasnya. Ya Allah, pada-Mu aku selalu.”
Bait demi bait Aqilah curahkan perasaan kepada Sang Kekasih Sejati dalam untaian doa. Usai mengucapkan doa terakhir, dan setelah hatinya cukup tenang, Aqilah melanjutkan membaca surat tadi dan terakhir isinya “hanya kepada sang pemilik cinta aku bersuara, menahan gejolak dan genderang dilema menghantam naluri.”.
“Azkha, aku menghargai perasaanmu. Tapi belum saatnya.” Gumam Aqilah lirih sambil berjalan gontai keluar dari mushola. Sedangkan sepasang mata Azkha menatapnya dengan nanar. Perasaan malu kepada Azkha mulai menghantam Aqilah sejak saat itu.
Bersabarlah, kuatkan iman menahan cinta sesaat. Allah telah menetapkan pasangan hidup semua insannya masing-masing. Allah akan mempertemukan mereka dengan sang penjaga hati dengan niat yang sama dalam proporsi yang sudah ditentukan. Allah juga berjanji, semua akan terasa indah pada waktunya. Sabar adalah kuncinya.
Cerpen Karangan: Nora Permatasari
Facebook: Perii Biru Sangpenjagahattie
haaiii, share bareg yuukk…
kunjungi saya di facebook yah jika ingin berteman…
uuppzz, satu lagi, nama pena saya Perii biru, biasa dipanggil pb, hehe…
oh ya, satu lagi hehe. menulis itu seruu lho, jangan bosan buat nulis yah.
see u
                                                               sumber:http://cerpenmu.com/

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com